Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga? Agar tidak direndahkan.
Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi jika yang diurus nanti sekitar dapur, sumur, dan kasur? Agar tidak mudah ditipu.
Begitulah jawaban saya (tentu saja dalam hati) jika ada orang yang bertanya “ngapain perempuan sekolah tinggi?” Apalagi jika pertanyaan tersebut dilontarkan langsung oleh keluarga dekat. Ya, saya memang berasal dari keluarga menengah kebawah sehingga untuk menyekolahkan anak-anaknya, orang tua saya harus berjibaku.
Hingga detik ini pun saya masih bersyukur bisa mengenyam pendidikan hingga S1 (meskipun sebenarnya pengin sampai S2). Masih teringat jelas saat ibu menolak untuk menyekolahkan saya ke perguruan tinggi sedangkan bapak bersikeras agar saya melanjutkan. Masih teringat jelas saat bapak dan ibu berdebat hebat (hingga membuat saya menangis) perihal saya yang ingin melanjutkan kuliah.
Saya memang suka “belajar” dan sangat ingin kuliah sedangkan ibu tidak yakin bisa membiayai saya karena beliau tidak bekerja. mengandalkan penghasilan bapak sebagai tukang bangunan? Ibu masih saja tidak yakin.
Tapi keyakinan bapak lebih besar dari keragu-raguan ibu. Kata bapak, “seorang perempuan itu harus kuliah biar enggak direndahkan orang.” Dan kata-kata tersebut menjadi cemeti yang melajukan semangat saya hingga lulus kuliah dengan nilai cumlaude.
Nothing is Imposible
Pertama kali dengar kata “nothing is imposible” dari Kungfu Panda (2008) dan sampai sekarang suka banget sama quotes tersebut. Apa yang ada di benak Bunda jika mendengar atau membaca kalimat “nothing is imposible?”
Ya, tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha. Nothing is imposible dalam artian positif lho ya, Bun. Berusaha dan berdoa adalah kuncinya. “Nothing is Imposible” hanyalah sebuah kata-kata yang jika diyakini kebenarannya akan menghasilkan energi luar biasa untuk memacu semangat.
Melalui keyakinan itulah saya bisa lulus kuliah tepat waktu, alhamdulillah. Lalu, bagaimana dengan biaya kuliah? Lagi-lagi saya bersyukur karena sejak awal kuliah (semester dua) saya mendapatkan beasiswa yang lebih dari cukup untuk membayar SPP per semester. Meskipun untuk itu saya harus giat belajar (agar IPK tidak kurang dari 3) dan bisa mendapatkan beasiswa hingga lulus kuliah.
Berapa sih gaji tukang bangunan? Tapi dengan keyakinan bahwa nothing is imposible, orang tua bisa membiayai kuliah saya hingga lulus dan saya bisa meraih predikat cumlaude. Mohon maaf, saya tidak bermaksud menyombongkan diri ya, Bunda. Sekedar berbagi semangat saja bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah kehendakNya.
Perempuan Sekolah Tinggi Agar Tidak Direndahkan, Benarkah?
Benarkah tidak ada orang yang merendahkan jika seorang perempuan sekolah hingga perguruan tinggi? Belum tentu juga sih dan tidak ada jaminan 100% jika perempuan lulusan S1 atau S2 tidak akan direndahkan. Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya perempuan yang kurang sadar pendidikan harus rela mendapatkan perlakuan “khusus” dari masyarakat sekitar.
Just sharing aja ya, Ayah-Bunda. Saya tinggal di sebuah daerah yang beberapa masyarakatnya kurang sadar pendidikan. Mereka hidup untuk makan (yang penting bisa makan dan hidup), selebihnya hafing fun. Mengapa saya katakan selebihnya adalah bersenang-senang? Ya, karena berdasarkan pengamatan saya mereka baik-baik saja dengan kehidupannya saat ini meskipun tidak mengenyam pendidikan.
(Semoga ini hanyalah hasil pengamatan saya semata karena saya tidaklah tahu isi benak dan hati mereka. Kalaupun saya sahabat menafsirkan, semoga Allah mengampuni. Amiin)
Bahkan anak-anak dan keturunannya pun dibebastugaskan dari sekolah, “sak karepe” alias terserah mau sekolah apa enggak. Asalkan anak-anak bisa cari makan, beres dan orang tua seperti enggak ada beban. Ada juga sih yang sedikit berpikir lebih baik, yang penting anaknya bisa baca tulis jadi sekolah sampai tingkat menengah saja sudah cukup.
Nah, yang beruntung adalah anak-anak yang punya semangat belajar lebih tinggi daripada keinginan orang tua yaitu mereka yang ingin menamatkan pendidikannya sampai SMA. Bisa jadi hidupnya lebih baik daripada lulusan SMP.
Lalu, apa dampak yang diterima oleh perempuan yang “kurang sadar pendidikan” ini?
Serem deh, Bun. Kenapa serem? Ya karena mereka dengan mudah menerima untuk direndahkan oleh masyarakat sekitar yang pendidikannya lebih tinggi.
Seperti apa misalnya?
Kerja Serabutan dengan Bayaran Murah
Memang, bekerja dan menerima upah adalah hak setiap orang. Mereka mau kerja apa aja ya terserah yang penting halal. Tapi, perempuan dengan pendidikan rendah akan pasrah menerima upah berapapun yang diberikan. “Aku diwehi piro-piro wae, sing penting iso mangan, mbak,” kata seorang perempuan buruh tani. (Artinya: Saya diberi berapapun enggak apa-apa, yang penting bisa makan).
Dibully Secara Verbal dan Sosial
Bullying adalah tindakan secara sadar atau tidak untuk menyakiti seseorang. Tindakan bermusuhan ini bisa direncanakan ataupun secara spontan. Nah, saat ada kegiatan yang melibatkan banyak orang di kampung, secara langsung saya melihat perempuan-perempuan dengan pendidikan rendah dibully secara verbal (kadang juga secara sosial).
Verbal bullying adalah mengejek dan menjatuhkan mental korban. Anehnya, korban yang saya tidak kenal dekat ini, menerima begitu saja dirinya dibully. Apakah saking seringnya hingga sudah terbiasa? Atau memang dia pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa?
Mayoritas, perempuan yang dibully ini memiliki pendidikan rendah. Kalau pelaku sih ada juga yang berpendidikan rendah, tapi biasanya mereka berpengaruh dan disegani. Misalnya, kaya, pinter masak, atau memiliki keahlian khusus yang sering dibutuhkan di daerah tersebut.
Perempuan berpendidikan rendah apalagi enggak punya kelebihan yang menonjol, jangan sampai sering berbuat salah secara nyata, kalau tidak mau dibully. Huft… miris.
Menjadi Korban Cicilan Kredit
Saat belanja ke pasar sebelum subuh, saya sering melihat tukang kredit mangkal di pertigaan pasar. Kok saya tahu kalau mereka tukang kredit? Soalnya saya pernah melihat mereka (dengan membawa buku tebal, kayak notes gitu) mencatat pada bukunya sambil menerima uang dari beberapa pedagang.
“Kurang piro, Mbak?” tanya pedagang. (kurang berapa mbak)
“Kurang selawe, Buk!” jawab tukang kredit. (kurang dua puluh lima)
Saya sih enggak paham, kurang dua puluh lima kali atau dua puluh lima ribu. Saya lihat pedagang menyerahkan uang 15ribu.
Oiya, tukang kreditnya bukan cuma laki-laki tapi ada juga yang perempuan. Bahkan pernah saya lihat tukang kredit dengan perutnya yang buncit alias sedang hamil. Jadi “penagih” cicilan seperti mereka juga tidak butuh pendidikan tinggi. Asalkan bisa baca tulis sudah bisa meraih banyak untung.
Terus, kenapa banyak sekali pedagang pasar (di daerah saya) yang menjadi korban cicilan kredit? Salah satunya karena pendidikan mereka rendah sehingga mudah dirayu. Mudah mendapatkan uang dengan jumlah banyak, tapi mencicil (dengan jumlah sedikit) dalam waktu lama, bahkan bertahun-tahun.
Ya Alllah… gimana mau berkembang kalau laba dagangannya digunakan untuk membayar cicilan kredit? Huhuhu…. Miris banget deh pokoknya. Parahnya, tukang kredit tidak hanya mencari mangsa di pasar saja, di dalam kampung juga banyak.
Arti Pendidikan Bagi Saya Seorang Ibu Rumah Tangga
Bagi saya yang seorang ibu rumah tangga, pendidikan tinggi sangat penting. Jika sebelumnya bapak pernah berkata “seorang perempuan itu harus kuliah biar enggak direndahkan” tapi setelah menjadi sarjana saya paham jika pendidikan tinggi lebih dari sekedar “tidak direndahkan.”
Melalui bangku kuliah saya mendapatkan banyak pengalaman dalam menyelesaikan persoalan. Melalui pendidikan tinggi saya menemukan beragam sifat dan karakter orang, saya juga belajar mengatasi berbagai masalah dan persoalan melalui kegiatan organisasi di kampus.
Oleh karenanya saya sangat bersyukur bisa menempuh pendidikan tinggi karena setelah punya anak ternyata dunia semakin kompleks. Pelajaran sekolah semakin berkembang dan teknologi semakin maju. Otomatis donk permasalah yang akan mereka hadapi juga semakin beragam. Masa iya saya harus menyelesaikan masalah anak zaman now dengan cara jadul? Enggak matching kan!
Misalnya nih, disaat anak-anak belum mengenal smartphone, alhamdulillah saya sudah bisa menguasainya. Bahaya donk kalau saya gaptek sedangkan anak SMP aja sudah melek teknologi. Saat masih berstatus guru, saya mendapati banyak peserta didik yang menggunakan internet semaunya untuk menonton apa saja. Ketika saya tanya, apakah orang tua tahu? Mereka bilang kalau orang tuanya enggak kenal smartphone. Miris!
Tak hanya itu, pelajaran anak zaman now juga sudah berkembang. Saya tidak ingin hanya menjadi ibu bagi mereka tapi juga sebagai pendamping dan temannya.
Saya ingin ketika mereka bertanya ini dan itu, saya bisa menjawab dengan baik. Tidak perlu risau kalau tidak tahu, kan bisa tanya mbah gugel? Anak saya senang sekali saat saya ajak browsing di google mencari jawaban pertanyaan yang ingin dia tahu. Bagi dia google adalah layar ajaib yang bisa menjawab semua pertanyaan.
Kalau browsing di google, mah, anak SD juga bisa, Bun!
Iya, Bunda, memang benar. Tapi, anak SD juga butuh pendamping saat berselancar di internet dan disitulah peran seorang ibu sangat dibutuhkan. Melalui pendidikan tinggi lah saya bisa mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi. Saya bisa menjelaskan dengan kata-kata yang tepat sesuai tahapan tumbuh kembangnya.
Perempuan Sekolah Tinggi Memang Penting, Tapi…
Setahun yang lalu saya resign dari madrasah swasta tempat saya mengajar dan ijazah saya tersimpan rapi di lemari. Lalu, apakah ada penyesalan setelahnya? Alhamdulillah tidak. Saya memang bangga saat ilmu saya bisa bermanfaat untuk banyak orang. Tapi saya lebih bangga dan bersyukur saat ilmu saya bisa berguna untuk mendidik dan membesarkan anak-anak.
Perempuan sekolah tinggi memang penting, tapi yang lebih penting adalah Bunda yang selalu semangat untuk belajar tentang good parenting. Menurut saya pola asuh yang baik akan menghasilkan generasi yang baik pula. Pendidikan tinggi memang penting tapi bukan segala-galanya. Apa gunanya jika orang tua sekolah tinggi-tinggi namun menghasilkan anak-anak yang lebih suka main telepon genggam daripada ngobrol dengan orang di sebelahnya saat di angkutan umum.
Perempuan hebat pasti bertindak dengan tepat.
Perempuan hebat pasti selalu punya tempat
Dimana?
Di hati setiap kami yang mengagumi(R.A. Kartini)
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memojokkan siapapun. Hanya sebagai pengingat diri dikala lupa dan semoga bisa menginspirasi.
Terima kasih telah membaca.
10 Komentar. Leave new
Salut deh sama bunda Eni, yang mencapai pendidikan S1 di tengah kondisi yang berbeda dari lainnya. Sebuah inspirasi untuk berusaha dalam mencapai yang terbaik untuk diri sendiri bahkan untuk orang lain.
Amiin, terima kasih mbak
Salut dengan perjuangan bunda Eni meraih pendidikan tinggi. Ternyata keyakinan orangtua banyak peranannya yah. Ibu saya bukan sarjana, makanya berharap anak²nya harus lebih baik daripada beliau.
Betul mba jadi orangtua zaman sekarang ini harus banyak belajar, paling nggak melek sama kondisi yang dialami anaknya sendiri dan tahu bagaimana solusinya. Sehingga bisa mengambil langkah yang tepat.
Iya mbak, ngeri ya kalau sampai anak canggih eh ortunya gaptek banget
Terima kasih Bunda, alhamdulillah punya orang tua yang hebat ya bun
Salut untuk bunda, tidak parah semangat dan bisa memacu diri demi mewujudkan cita-cita. Semoga saya bisa terus mendorong anak-anak saya meraih haraoan mereka.
Amiin, terima kasih mbak. Semoga terwujud harapannya. AMiin
Aku pernah denger pembicaraan keponakanku dengan ibunya. Dia anak perempuan, ga mau lanjut kuliah, alasannya nanti kayak Mama, udah sarjana tetep aja jadi ibu rumah tangga. Sama ibunya dijawab, Mama jadi ibu rumah tangga krn nikah sm Papamu yg sarjana, pengacara. Kira2 kl Mama lulusan SMA, nikahnya sama siapa? Glodak, langsung diem anaknya. Hehe. Itu sekelumit kisah sih
ya Allah… pemikiran orang beda-beda sih mbak. Hehehe… Enggak bisa nyalahkan juga kan ya?