Industri Tekstil Peringatkan PHK Lebih Lanjut dengan Kenaikan PPN 12% pada 2025
Industri tekstil bersiap-siap untuk menghadapi kesulitan lebih lanjut dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada Januari 2025, yang berpotensi memperburuk situasi yang sudah sulit.
Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan Konsultan Pajak Jakarta mengkritik ketidakpedulian pemerintah terhadap perjuangan industri tekstil dan garmen, yang telah mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Penurunan ini telah menyebabkan hilangnya pekerjaan yang signifikan, dengan hampir 200.000 pekerja di-PHK selama periode ini.
“Selama tiga tahun terakhir, kami telah melihat penurunan dramatis dalam industri tekstil, yang dibuktikan dengan adanya pemutusan hubungan kerja. Hampir 180.000 hingga 200.000 pekerja telah diberhentikan dari sektor tekstil dan garmen,” kata Danang dalam sebuah wawancara dengan Investor Market Today IDTV pada hari Jumat.
Danang juga menunjukkan bahwa pada tahun 2024 saja, hampir 38.000 pekerja telah kehilangan pekerjaan di industri padat karya ini. Dia menekankan bahwa pemerintah harus melihat hal ini sebagai peringatan serius, karena kenaikan PPN yang akan datang dapat semakin membahayakan kelangsungan hidup industri ini di tahun mendatang.
“Dampaknya pasti akan terasa. Kami telah menyampaikan kekhawatiran ini di tingkat asosiasi, dan semua anggota kami, termasuk produsen garmen, tidak puas dengan waktu pelaksanaannya,” jelas Danang.
Pemerintah telah mengkonfirmasi bahwa kenaikan PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal pada 1 Januari 2025, sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan 2021. Keputusan tersebut ditegaskan kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah melakukan pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan pada hari Kamis.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mengklarifikasi bahwa kenaikan PPN ini akan berdampak pada konsumen barang mewah, sementara kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan tetap membayar tarif PPN yang berlaku saat ini.
“Usaha kecil dan konsumen akan tetap membayar tarif PPN yang sama seperti sebelumnya,” kata Misbakhun dalam sebuah konferensi pers di kompleks Istana Kepresidenan.
YLKI: Cukai Minuman Manis Tawarkan Alternatif Manis untuk Kenaikan PPN
Sebuah asosiasi perlindungan konsumen baru-baru ini mengusulkan cukai minuman manis sebagai alternatif yang manis untuk kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang kontroversial, dengan alasan bahwa tindakan-tindakan seperti itu dapat mencegah anak-anak terkena diabetes.
Dalam waktu kurang dari sebulan, Indonesia akan menaikkan PPN dari 11% saat ini menjadi 12% untuk meningkatkan pendapatan negara. Pemerintah menghadapi desakan-desakan untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN, dan juga untuk mengeksplorasi opsi-opsi lain untuk menghasilkan uang.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah untuk mengenakan cukai pada minuman manis, dengan mengatakan bahwa membuat minuman manis menjadi lebih mahal akan memberikan dampak yang baik untuk kesehatan anak-anak dan perekonomian nasional. Indonesia juga membutuhkan populasi muda yang lebih sehat jika ingin menjadi negara berpenghasilan tinggi pada ulang tahunnya yang keseratus di tahun 2045.
“Jadi mengapa kita tidak memberlakukan cukai untuk minuman manis agar anak-anak kita tidak terkena diabetes,” ujar Indah Sukmaningsih, Ketua Pengurus Harian YLKI, dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh B-Universe Media Holdings di kantor pusat B-Universe Media Holdings di Pantai Indah Kapuk 2.
“Cukai minuman manis bisa menjadi alternatif [dari PPN 12 persen]? … Banyak orang Indonesia yang menderita diabetes sejak usia muda,” kata Indah.
Pada bulan September, Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan cukai 2,5 persen untuk minuman manis mulai tahun 2025, yang secara bertahap akan meningkat menjadi 20 persen dari waktu ke waktu.
Lembaga think-tank Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (Cisdi) melaporkan bahwa cukai 20 persen untuk minuman manis memiliki keuntungan ekonomi. Cukai setidaknya 20 persen dapat membantu Indonesia menghemat Rp 40,6 triliun ($2,5 miliar). Sekitar Rp 24,9 triliun dari penghematan tersebut berasal dari pengurangan biaya pengobatan diabetes. Indonesia juga dapat menghemat Rp 15,7 triliun dengan mencegah kerugian ekonomi akibat hilangnya produktivitas yang disebabkan oleh penyakit ini.
Sebanyak 1.645 anak di seluruh nusantara menderita diabetes pada tahun 2023, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Data juga menunjukkan bahwa 2 dari 100.000 anak Indonesia mengidap diabetes. Indonesia mengumpulkan cukai sebesar Rp 221,8 triliun sepanjang tahun 2023. Pendapatan cukai telah mencapai Rp 174,4 triliun sepanjang tahun ini per Oktober.