Dear Diary β¦ Mau nggak kamu baca kisahku ketika aku harus berpisah dengan ibu? Bukan untuk berpisah selamanya, tapi berpisah untuk menjalin rumah tanggaku sendiri. Iya β¦ kisahku dan suamiku. Bertahan dengan harapan di 11 tahun pernikahan kami.
Semoga kamu nggak bosan ya baca kisahku ^_^
Putus Cinta Β β¦
Aku keluar kamar dengan mata sembab, berjalan menunduk tanpa berani melihat wajah orang-orang yang berlalu lalang di dalam rumah. Khususnya wajah ibu. Meski aku tahu sejak tadi ibu memperhatikanku.
Aku berusaha keras untuk tidak menumpahkan air mata di depan ibu. Seharusnya dari kelopak mataku yang bengkak ibu sudah tahu jika aku menangis semalaman. Kepalaku berat dan mataku seakan susah dibuka.
Tapi ibu tidak bertanya apapun. Ibu tahu kalau seminggu belakangan aku sering menangis tapi aku belum cerita apapun kepada beliau. Aku belum siap menumpahkan air mata saat bercerita padanya. Lagipula, aku harus menuntaskan dulu masalahku. Masalah hati.
Ya, aku baru putus dengan Mas D (maaf aku nggak sebut nama ya), guru SMA dari kota P yang sudah 3 tahun kukenal. Aku mengenalnya ketika masih duduk di bangku kuliah semester 1. Kami hanya bertemu setahun 2-3 kali karena Mas D harus mengajar dan aku juga sibuk kuliah.
Tidak lama setelah awal perkenalan dia bilang tertarik padaku dan ingin menungguku hingga lulus kuliah, baru akan melamarku. Aku pun serius menanggapinya. Kami berusaha saling menjaga hati selama 3 tahun.
Hampir setiap lebaran dia datang ke rumah, silaturahmi dengan keluargaku. Teman-teman dan tetangga pun tahu jika dia calonku. Aku pun pernah ke rumahnya di Kota P diantar nenekku dan berkenalan dengan keluarganya. Pokoknya selama 3 tahun itu aku merasa dia adalah jodoh yang tepat untukku.
Hingga suatu ketika, aku merasa ada yang aneh. Kami tidak lagi cocok dan memutuskan harus putus hubungan. Bukan karena orang ketiga tapi ada hal lain yang tidak bisa kusebutkan. Saat kata PUTUS sudah kami sampaikan baik melalui telpon dan sms, saat itulah air mataku mengalir hampir setiap saat.
Ketika itu aku sudah mengajukan proposal skripsi. Pikiranku terganggu hingga nggak bisa fokus. Proposalku terbengkalai dan kerjaanku hanya menangis. Datang ke kampus dengan mata sembab, di dalam kelas nggak konsen, bahkan di dalam angkot pun aku meneteskan air mata tanpa menghiraukan orang-orang yang memperhatikanku.
Hahaha β¦ ingat hal tersebut kok kayaknya lebai banget ya, Diary β¦
Setelah air mataku sudah mulai kering, wkwkwkw⦠lebay poll ini mah. Aku pun cerita pada ibu kalau aku dan Mas D sudah putus. Alhamdulillah ibu nggak tanya apa alasannya. Ibu hanya berpesan padaku kalau jodohku udah disiapkan oleh Allah SWT dan Mas D bukanlah jodoh terbaik untukku.
Nyess… Alhamdulillah punya ibu yang pengertian ^_^
Bismillah β¦ Meski tidak mudah, aku harus segera move on. Meski rasanya berat tapi jalanku masih panjang. Aku pun yakin dengan perkataan ibu, semua adalah kehendakNya dan ini pasti yang terbaik.
Move On
Diary β¦ Lebih dari dua bulan aku sudah mulai bisa move on darinya. Aku sibuk mengerjakan skripsi.Β Saat itulah aku mengenalnya, mahasiswa ITN Malang. Ngakunya semester akhir dan sedang mengerjakan tugas akhirnya.
Aku mengenalnya saat iseng-iseng chating di mIRC (jadul yak? Hahaha) di perpustakaan UM. Biasa lah ya, bosan nyari materi dan ngerjakan skripsi aku iseng-iseng chating dan kenal dengannya.
Namanya Mas A, usianya lebih tua 6 tahun dariku. Kuliah jurusan teknik mesin dan pernah DO selama berapa tahun aku lupa. Entah gimana ceritanya waktu kenal denganku dia baru saja dipanggil pihak kampus dan diminta menyelesaikan kuliahnya, hehehe.
Mungkin (mungkin loh ya) kalau dia nggak balik lagi untuk menyelesaikan kuliahnya, kami nggak akan pernah bertemu.
Takdirkah ini namanya?
Cinta Bersemi
Dear Diary β¦
Apakah kamu pernah dengar orang bilang βWiwiting tresno jalaran soko kulinoβ yang artinya cinta tumbuh karena terbiasa. Ya, aku dan Mas A terbiasa ngobrol di telpon sampai ketiduran, kami terbiasa berangkat ke kampus bareng karena searah.
Dia sering mengantarkanku ke tempat penelitian, aku juga sering mengantarnya mengerjakan tugas akhir. Kami saling menyemangati agar bisa selesai tepat waktu. Hingga tanpa kami sadari rasa cinta itu hadir, kebiasaan-kebiasaan itulah yang menumbuhkan benih-benih cinta di hati.
Kami sudah sama-sama dewasa, hubungan seperti ini β¦ apa lagi tujuannya jika bukan untuk menikah? Aku juga sudah lelah jika harus menunggu seperti dulu.
Pernah suatu ketika Mas A bilang, mau nggak misalnya aku menunggu dia lulus pelatihan menjadi Anak Buah Kapal di laut? Kebetulan kakak ipar dia kerja di kapal gitu. Langsung kujawab dengan tegas kalau aku nggak mau lagi menunggu. Mungkin aku akan menikah dengan orang lain yang sudah siap. Hehehe β¦
Kami pun lulus kuliah di tahun yang sama yaitu 2010. Dia datang ke wisudaku dan aku diajak ke wisudanya. Lalu, tanpa ba bi bu lagi kami melangsungkan pernikahan pada 15 Juni 2010.
Begitulah Diary β¦
Aku harus berpisah dengan ibu setelah melabuhkan hatiku pada lelaki pujaan. Jodoh yang Allah SWT berikan untukku, menapaki jalan rumah tangga yang semoga bisa Sakinah Mawaddah Warohmah. Aamiin.
Jodoh di tangan Tuhan, tak ada yang tahu.
Nikah itu Nggak Enak
Dear Diary ..
Tahun 2017 ada tulisan di facebook yang viral berjudul βNikah itu Nggak Enakβ yang ditulis oleh Hanni Dewanti. Mengapa tulisan tersebut viral? Karena yang dia tulis tuh bener semua, dan aku telah merasakannya.
Saat baca status Mak Hani ini aku pun setuju banget. Nikah itu jangan bayangin enaknya doang, bisa bersama terus dengan yang tercinta, bisa makan sepiring berdua, bisa pegangan tangan terus tanpa takut dosa, bisa memelihara kucing bersama. Hadeeeehβ¦
Setelah menikah aku pun sadar kalau nikah itu nggak enak, apalagi saat awal-awal nikah. Aku yang harus tinggal bersama suami dan kedua mertua, di Pondok Mertua Indah, harus mulai memikirkan cara mengabulkan harapan-harapan mertua.
Mulai dari melayani suami, masak yang enak, bikin rumah bersih, merawat anak dengan baik, dan tentu saja bisa menjadi wanita mandiri karena suamiku seorang wirausaha yang pendapatannya tidak menentu. Itu semua adalah harapan mertua yang harus kukabulkan. Dari sinilah masalah baru dalam rumah tanggaku dimulai, dan membuatku bertahan dengan harapan.
Aku yang kerja dari pagi sampai siang, pulang ke rumah ngurus anak dan pekerjaan rumah lainnya. Capek, sudah pasti. Sungkan sama mertua kalau rumah kotor, sungkan kalau mau ngomelin anak dan suami yang kurang sesuai dengan standart.
Eh, standart yang gimana sih?
Ya, misalnya pulang kerja tuh aku pengennya rumah rapi. Toh suami kerja di rumah, kan bisa jaga anak dan bersihkan rumah. Eh, aku pulang kerja malah berantakan. Huhuhu β¦
Beneran deh nikah itu nggak enak ya, pikirku kala itu.
Belum lagi kepribadianku dan suami yang berbeda jauh. Dia pendiam, aku cerewet. Dia kurang peka, aku terlalu sensitif. Dia yang kalau aku marah cuma diam di pojokan. Ya allah β¦ beneran deh awal-awal nikah tuh aku sampai sempat down dan pengen bunuh diri. Hiks β¦
Aku dan Mas A sama-sama masih egois. Aku pengen dia membantu semua pekerjaan rumah tanggaku, pengen dia peluk aku kalau nangis. Aku juga pengen dia bisa kasih jawaban apa gitu saat aku marah, biar aku nggak kayak marah sama tembok. Aku pengen dia mengucapkan selamat ulang tahun pas tanggal lahirku. Aku pengen ini dan itu, pokoknya banyak banget lah yang aku inginkan darinya.
Dan saat itu aku merasa kalau banyak sekali menuntut sedangkan Mas A nggak ada respon sama sekali. Dia tetap menjadi dirinya yang pendiam, nggak pernah marah, melakukan apa yang dia inginkan dan dia bisa. Bikin aku makin ill fill dan berpikir β¦
Mungkinkah aku salah pilih pasangan hidup?
Whuaaaa β¦ kayak di film-film tuh, aku menjadi lebay dan sering menangis di dalam kamar. Ibu mertua nggak berani nanya kenapa mataku sering sembab. Ibu mertua ya ibu mertua, aku belum bisa dekat dengan beliau. Dan tetap saja ibu mertua menuntut seorang menantu yang seharusnya, bisa mengurus suami, anak, dan rumah tangganya dengan baik.
Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu β¦
Anak Menjadi Korban
Aku menikah tanpa bekal parenting. Otomatis akupun menggunakan pola asuh dari orang tuaku. Membentak dan berbicara dengan nada tinggi pada anak telah kulakukan pada anak pertama. Kasihan dia menjadi korban keegoisanku.
Tapi aku bersyukur karena suamiku pendiam. Saat aku marah pada anak, dia yang bisa menghibur anaknya. Saat emosiku meledak dia hanya diam dan tidak menanggapi.
Coba kalau dia ikutan marah, apa yang terjadi? Pastinya akan terjadi ledakan kemarahan dan kami sama-sama hancur. Anak pun akan menjadi korban salah asuhan, huhuhu.
Mengenal Sekolah Parenting
Diary β¦
Saat anakku sudah masuk TK, aku mengenal Pondok Parenting Harum. Dari lembaga itulah aku akhirnya mengenal Sekolah Parenting Harum dan mengenal teori-teori dalam parenting.
Aku jadi tahu kalau mengasuh anak itu ada ilmunya. Aku juga mengenal Bu Abyz Wigati, konselor anak dan keluarga yang akhirnya membantuku keluar dari masalah rumah tangga.
Aku sering mengikuti seminar parenting yang diadalan Pondok Parenting Harum dan mendaftarkan diri belajar parenting secara intensif di Sekolah Parenting Harum. Bersama para orang tua lainnya aku belajar cara mengasuh anak dan berumah tangga yang baik.
Namun, meski begitu aku masih sempat mempertahankan diri dan berikukuh bahwa aku nggak salah. Yang salah itu ya suamiku, kenapa dia tidak bisa membuatku bahagia dengan mengabulkan semua keinginanku.
Mengikuti sekolah parenting dan mendapatkan banyak ilmu parenting bukan berarti aku langsung paham, bukan berarti aku langsung bisa mengatasi masalah rumah tanggaku. Tidak β¦ Akupun masih sama seperti sebelumnya, sering marah dan merasa salah memilih pasangan hidup.
Kadang aku ingin menghilang dari dunia, tapi saat melihat wajah lucu dan tak berdosa buah hati kami, aku ingin hidup lebih lama. Harapan itulah yang kemudian membuatku terus berjuang, meski nggak tahu sampai kapan.
“Cantik, kapan pun kamu kehilangan harapan, ingatkan dirimu sendiri bahwa kamu lebih kuat, lebih berani, dan lebih cerdas dari yang kamu pikir selama ini. Bertahanlah, harapan akan terus membimbingmu pada masa depan” – Honey Dee –
Mulai Sadar Ada Luka Batin
Setelah beberapa kali konsultasi dengan Bu Abyz, ngobrol dengan teman-teman alumni di grup alumni sekolah parenting, akhirnya aku bisa menemukan akar permasalahannya. Yaitu, aku dan suami sama-sama punya luka masa kecil.
Diary β¦
Awalnya aku aja yang menyadari bahwa diriku masih punya luka masa kecil yang belum sembuh. Lalu, aku juga mencari tahu bagaimana cara pengasuhan suami saat masih kecil, ternyata tidak jauh berbeda. Intinya kami sama-sama punya luka batin yang teramat dalam.
Hanya saja pelampiasan kami berbeda, aku yang memunculkannya dalam kemarahan sedangkan suami dalam bentuk diam tak melakukan apa-apa. Ya, karena aku dan dia berbeda, dibesarkan dengan cara yang berbeda, punya nilai yang berbeda pula. Masalah kita pun akhirnya menjadi satu.
Luka masa kecil yang masih basah menjadikan kami pasangan yang egois dan membuat hubungan kami menjadi buruk. Tampak baik-baik saja di luar tapi buruk di dalam.
Mulai Memperbaiki Diri
Aku jadi sering ngobrol sama suami, membicarakan masa kecil kami. Hal itulah yang kemudian bisa menurunkan ego. Kami mulai bisa sama-sama βnrimoβ atau saling menerima. Aku pun mulai mengenali masa kecilnya dan mencari cara mengatasi masalahnya.
Saat dia hanya diam ketika melihatku marah, disitulah aku tahu bahwa masa kecilnya dulu seperti itu. Nggak mudah keluar dari luka batin itu, bahkan setelah puluhan tahun. Pun ketika aku memberikan tuntutan terlalu banyak kepada suami, itu juga karena aku masih punya βluka basahβ di batin dan aku mengharapkan pengertiannya.
Sejak itulah kami mulai belajar fokus pada masalah sehingga nggak saling menyakiti satu sama lain. Aku pun berusaha untuk berempati pada diri kecilnya. Aku terus berusaha dan belajar menerima bahwa kami berbeda. Aku nggak akan pernah lagi memaksakan keinginanku padanya.
Bu Abyz pernah bilang, untuk membuat orang lain bahagia, bahagiakan diri kita lebih dahulu. Karena aura kebahagiaan itu menular.
Jadi, Diary β¦ aku memutuskan untuk merubah pola pikirku. Bahwa kami dibesarkan dengan cara berbeda sehingga cara kami mengatasi masalah pun berbeda.
Aku pun mengomunikasikan itu pada suami. Apa yang aku inginkan semua aku sampaikan padanya. Aku mulai membiasakan diri untuk nggak pakai βilmu kebatinanβ hahaha.
Ketika aku ingin dipeluk saat sedih, ya aku minta dipeluk. Kalau ingin dia membantuku melakukan pekerjaan rumah tangga, ya aku bilang padanya. Terlebih saat aku tahu kalau suamiku adalah tipikal orang yang βkurang punya inisiatif dan lebih suka diberika instruksi.
Aku pun menjadi lebih bahagia. Bahagia yang kuciptakan sendiri. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri. Bahagia itulah yang kemudian menular kepada suami dan anak-anakku.
Pada 8 tahun pernikahan kami pun bisa berubah meski pelan tapi pasti. Kami berubah menjadi orang tua yang lebih baik dan menginginkan anak-anak yang tumbuh dengan baik pula. Kami juga mulai belajar empati dan menerima perbedaan kami tanpa syarat.
“Nothing in this world is perfect, not even us and our marriage.”
– Nasty Glacie by Honey Dee
Perubahan Pasti terjadi
Diary β¦
Satu-satunya hal yang pasti terjadi di dunia ini adalah perubahan, hanya saja kita siap menghadapinya atau tidak.
Begitu juga ketika aku memutuskan untuk menikah, sudah pasti banyak perubahan yang kualami. Aku dan suami yang harus keluar dari zona nyaman tidaklah mudah dan butuh perjuangan ekstra, terlebih saat tahu bahwa kami adalah dua manusia yang berbeda.
Kata Viktor Frankl, seorang neurolog dan psikiater Austria, “Ketika kita tidak mampu lagi mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.”
Hal itulah yang saat ini aku lakukan, merubah diri agar bisa lebih maju. Karena aku yakin jika bisa berubah maka aku akan bertumbuh. Jika aku bertumbuh maka aku benar-benar hidup.
11 Tahun Pernikahan dan Takdir Baik
Bulan Juni tahun ini, usia pernikahan kami menuju usia 11 tahun. Ibaratnya manusia usia pernikahan kami sudah bukan anak-anak lagi. Kami sudah lebih dewasa dalam menjalaninya.
Diary β¦ kamu ingat kan kalau saat ini adalah tahun ketiga mama mertua terkena serangan stroke. Nggak ada lagi mertua yang melantunkan harapannya padaku. Tapi aku selalu ingat harapan yang pernah mama sampaikan padaku.
Aku masih ingat saat mama mencela masakanku dalam canda tawa. Aku masih ingat saat mama selalu mengingatkanku agar menjaga kebersihan rumah demi menjaga kesehatan keluarga. Aku juga masih ingat saat mama bilang untuk menyisihkan uang belanja untuk ditabung.
Pokoknya aku ingat semua yang dikatakan mama, yang dulu membuatku tersinggung karena merasa mama ikut campur rumah tanggaku. Sekarang aku mulai sadar bahwa itu semua demi kebaikanku. Coba kalau mama nggak pernah membimbingku, apa yang akan terjadi?
Tapi takdir berkata lain, mama harus bersabar dan berjuang menghadapi sakitnya. Aku pun yakin bahwa semua yang dilakukan orang tua adalah demi kebaikan anak, hanya saja caranya mungkin yang kurang bisa kita terima.
Di 11 tahun pernikahan ini aku juga bersyukur memiliki suami yang sabar dan pengertian, bahkan belum pernah sekalipun marah dan membentakku. Aku bersyukur memiliki anak-anak yang baik dan solehah. Aku bersyukur atas semua yang kumiliki saat ini.
Disinilah aku sadar bahwa sudah takdir ketika aku harus putus cinta di tahun 2008 dan kemudian menikah dengan suamiku sekarang.
Tahu nggak Diary …
Suamiku itu dulu pernah bekerja di depan SMA tempatku belajar. Iya loh, dia juga pernah bertemu dengan teman SMAku. Aku pun membayangkan (kayak di film-film gitu) bahwa ketika aku sedang belajar di dalam kelas, jodohku sedang bekerja di toko depan gedung SMA ku. Hahaha…
Takdir yang unik …
Seringkali takdir membawa kita ke jalan yang tidak kita kira sebelumnya, mempertemukan dengan orang-orang yang tidak kita inginkan, hingga mengejutkan kita dengan hal-hal baru. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjalaninya. Lucunya, pada akhir jalan, takdir malah membuat kita berada di tempat yang sangat tepat dan berada di samping orang yang tepat.
– -Honey Dee-
Bertahan dengan Harapan
Lalu, apa sih tipsnya agar aku dan suami bisa bertahan hingga pernikahan ke 11 tahun ini?
Pertama, yang kulakukan adalah selalu bersyukur atas apa yang kami miliki. Kami bersyukur karena Allah masih mengizinkan untuk berubah menjadi orang tua yang lebih baik. Berubah menjadi suami istri yang lebih baik.
Aku juga bersyukur mengenal Pondok Parenting Harum, Sekolah parenting Harum, Bunda Abyz Wigati, dan juga teman-teman alumni sekolah parenting harum. Bersama mereka aku bisa bangkit dan menemukan bahagiaku. Diriku yang bahagia bisa menularkan bahagia kepada keluarga.
Kedua, komunikasi adalah yang utama. Menurutku jika komunikasi antar suami istri juga baik, insyaallah masalah akan terselesaikan dengan baik juga. Misalnya dengan mengatakan apa yang aku inginkan padanya, kalau aku pengen bolu cinta siliwangi ya aku bilang aja.
Aku juga mengatakan perasaanku kayak lagi marah, lagi sedih, lagi senang, semua aku lakukan agar dia tahu dan nggak nebak-nebak.
Selama 11 tahun pernikahan masak iya aku nggak mengenal suamiku. Dia adalah tipikal orang yang nggak bergerak kalau nggak adaΒ Β yang jelas. Jadi ya harus pinter-pinter lah kasih tugas ke suami, seperti waktu sampah sudah penuh minta tolong untuk dibuang. Jika kamar mandi kotor minta tolong pada suami untuk dibersihkan.
Gitu aja sih β¦
Jadi, tiap pasangan pasti punya tips dan cara yang berbeda untuk mencapai kebahagiaan dalam menjalani rumah tangganya. Hanya saja, ada satu hal yang aku hindari yaitu membagikan masalah rumah tanggaku di medsos.
Ada dua hal yang tidak bisa ditangkap lagi, anak panah yang sudah lepas dan ucapan yang terlontar. Kalau sudah curhat di medsos sudah pasti tidak akan menjadi rahasia lagi. Dan bagiku, suami-istri adalah pakaian untuk satu sama lain yang seharusnya bisa saling menutupi aib pasangannya.
Mohon maaf ya, aku tidak ingin mencela mereka yang curhat di medsos. Aku nggak tahu seberapa pelik masalah mereka jadi aku anggap aja bahwa setiap orang punya cara berbeda-beda dalam mengatasi masalahnya.
Dan aku lebih memilih untuk curhat pada konselor keluarga yang aku kenal. Mendapatkan solusi yang menurutku lebih bijak. Paling tidak itu adalah caraku jika ada masalah selain menceritakannya pada suamiku dan padamu ya, Diary β¦
Tentu saja, apa yang aku dan suami lakukan untuk bertahan dalam kebahagiaan rumah tangga bisa berbeda untuk pasangan lainnya. Hanya kita sendiri yang tahu kondisi pasangan dan keluarga kita masing-masing.
Tetap semangat ya Ayah-Bunda … Hwaiting ^_^
βKita semua bisa melakukan kebaikan tanpa menyalahkan. Karena memperbaiki itu dengan proses yang baik, bukan dengan memaksakan kebenaran. Belajar parenting bersama untuk bisa saling berbagi kebaikan hingga mencapai standart kebenaran bagi keluarga masing-masing. Bukan menyalahkan, apalagi menghakimi.β β Abyz Wigati.
Dear Diary β¦
Terima kasih telah mendengarkan curhatanku β¦
Semoga bermanfaat untuk semua pembaca juga β¦
Tulisan ini dalam rangka merayakan Wedding Anniversary Mbak Avy yg ke 28Β tahun. Semoga Allah SWT menyempurnakan kebahagiaan Mbak Avy dan suami dan senantiasa menjadikan pernikahan sebagai ibadah kepadaNya. Aamiin.
5 Komentar. Leave new
Huah… Bisa sharing seterbuka ini ya Bun. Aku juga mengalami ini. Rasanya berat ya menghadapi suami yg gak pengertian. Tapi lama-lama berubah. Sama-sama belajar seiring berjalannya waktu.
Wah aku setuju banget kalau komunikasi adalah kunci hubungan harmonis dalam hal apapun. Selamat menjalani samudra rumah tangga dengan sakinah mawaddah warohmah.. Aamiin π
aamiin, terima kasih mbak
Masya Allah mba eni smoga langgeng sampe syurga yaaa
Aku lagi di fase “yampun nikah gak enak, kayaknya salah milih pasangan deh” hahahaha apalagi ditambah adanya badai rumah tangga. Makin2
Yg terpenting kita masih dikelilingi orang2 yg masih support sama pernikahan kita, dan terus deket sama Allah sih. Biar gak limbung hehe
Semangaaat merawat pernikahan π
makasih mbak zahra ^_^